ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS DAN PENANGANAN EDUKASI
Oleh : Didiy
B. Sukardin
PENGANTAR
Gangguan pertumbuhan yang
dapat dideskripsikan dalam bentuk kelainan, adalah
perawakan tubuh pendek, kretinisme, hipotiroidisme
kongenital, retardasi mental, kelainan pendengaran, dan sebagainya. Meskipun ada juga
gangguan pertumbuhan yang tidak dalam bentuk kelainan yang menjadi kajian dalam
pendidikan luar biasa/pendidikan khusus, seperti gangguan gonad atau gangguan
kelenjar kelamin, kriptorkdismus atau testis yang tidak turun ke bawah, berat
badan sangat kurang, dsb.
Gangguan pertumbuhan
memiliki korelasi dengan kejadian kelainan, karena keduanya dapat saling
memberikan pengaruh. Artinya gangguan pertumbuhan dapat menyebabkan seseorang
menjadi kelainan, demikian sebaliknya kelainan organ tubuh tertentu dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan.
Gangguan perkembangan pada
setiap anak pada akhirnya akan bermuara pada dua kemungkinan, yang satu sama
lain tidak dapat diduga sebelumnya. Kedua kemungkinan itu adalah (1) kembali
normal dan mampu mengejar ketertinggalam perkembangan, misalnya dari belum
mampu berbicara, setelah diterapi dan distimulasi dalam waktu
tertentu akhirnya anak dapat berbicara. Anak sekarang sudah tidak
mengalami gangguan perkembangan bicara. (2) gangguan perkembangan yang berakhir
menjadi menetap dalam bentuk kelainan. Kondisi kelainan
ini walaupun
diberikan rehabilitasi dan habilitasi dalam kurun waktu tertentu, kelainannya tetap ada, meskipun kemampuan yang bertambah menjadi
baik.
Apabila ditemukan adanya satu proses perkembangan yang terhambat,
terganggu, atau bahkan terpenggal, dan kemudian dibiarkan maka untuk
selanjutnya sulit mencapai perkembangan yang optimal.
Tidak setiap anak mengalami perkembangan normal. Banyak di antara mereka yang dalam
perkembangannya mengalami hambatan, gangguan, kelambatan, atau memiliki faktor-faktor
resiko sehingga untuk mencapai perkembangan optimal diperlukan penanganan atau
intervensi khusus. Kelompok inilah yang
kemudian dikenal sebagai anak berkebutuhan khusus.
TERMINOLOGI
Dalam dunia pendidikan khusus (ortopedagogik),
kekeliruan dalam mendefinisikan kategori Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
kemungkinan besar pelayanan yang diberikan akan salah juga.
Kebanyakan dari masyarakat memahami
bahwa ABK sama dengan anak cacat (defective),
anak penyandang ketunaan (handicapped
children), dan anak luar biasa
atau berkelainan (exceptional children). Padahal, konsep pengertian
ABK jauh berbeda dengan tiga istilah lainnya. perbedaan dari ketiganya berimbas
pada perbedaan bentuk pelayanannya.
Jika kita kembali pada perkembangan
istilah anak yang menerima pelayanan khusus, kita akan mendapatkan perubahan
istilah anak cacat menuju anak luar biasa, dan kini berubah lagi menjadi anak
berkebutuhan khusus atau yang biasa disebut ABK. Mengapa sebutan untuk anak
yang menerima pelayanan khusus terus berubah? Hal ini dikarenakan ruang lingkup
anak yang menerima pendidikan khusus lebih dispesifikkan.
Dulu, istilah anak cacat digunakan untuk menyebut setiap anak yang
berbeda dengan kebanyakan anak pada umumnya. Dan, setiap anak yang belajar di Sekolah Luar
Biasa (SLB) pasti dikategorikan ke dalam anak cacat.
Kemudian, istilah anak cacat berubah
menjadi anak berkelainan atau anak luar bisa. Pada awalnya, perubahan istilah
ini didasarkan pada penghalusan istilah. Meskipun istilahnya sudah berubah dan
mengalami penghalusan, anak-anak yang mendapatkan layanan khusus di SLB tetap
dikatakan sebagai anak berkelainan atau anak luar biasa.
Istilah ini bertahan cukup lama,
akan tetapi masih banyak kalangan yang memahami bahwa anak yang bersekolah di
SLB pasti anak cacat atau anak luar biasa yang lebih berkonotasi negatif.
Padahal, jika kita amati lagi, tidak semua anak yang belajar di SLB adalah anak
cacat atau anak luar biasa. Sebagai contohnya adalah anak-anak dengan kesulitan
belajar. Anak kesulitan belajar bukanlah
anak yang memiliki kecacatan atau kelainan pada fisik maupun intelegensi
mereka. Selain itu anak dalam kategori dengan kecerdasan luar biasa
tinggi dan memiliki bakat juga masuk dalam anak luar biasa yang tidak memiliki
kelainan atau kecacatan.
Jadi, selain mengalami penghalusan,
pergeseran istilah anak cacat menuju anak berkelainan atau anak luar biasa ikut
mengalami pergeseran ruang lingkup. Jika istilah anak cacat meliputi anak-anak
dengan keterbatasan fisik, anak luar biasa adalah anak-anak yang memiliki
kemampuan kurang atau melebihi anak pada umumnya.
Untuk lebih menspesifikkannya lagi,
muncullah istilah baru dalam dunia ortopedagogik untuk anak-anak yang menerima
pelayanan khusus, yaitu Anak
Berkebutuhan Khusus yang selanjutnya disebut ABK. Berbeda dengan dua istilah sebelumnya,
penggunaan istilah ABK lebih spesifik pada kondisi anak dan proses interaksi
yang harus dilakukan pada ABK.
Seorang anak dikatakan Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) apabila anak tersebut memiliki tiga ketentuan
berikut; (1) anak memiliki penyimpangan berarti dari anak pada umumnya (kurang
atau melebihi anak pada umumnya), (2) penyimpangan tersebut membuat anak
mengalami hambatan dalam kesehariannya, dan (3) karena hambatan tersebut
seorang anak membutuhkan pelayanan khusus.
Anak Berkebutuhan Khusus menurut Heward adalah anak
dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umunya tanpa selalu menunjukkan
pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Karena karakteristik dan hambatan
yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang
disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka.
Sebutan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK),
dirujuk dari hasil kesepakatan internasional tentang pendidikan untuk semua (education
for all) yang dipertajam dalam Framework for Action on Special
Needs Education (Salamanca
statement 1994). Inti kesepakatan ini mengedepankan perhatian pada upaya
pemenuhan kebutuhan khusus dalam pendidikan. Sedangkan konsep yang telah ada
sebelumnya dengan sebutan anak berkelainan cenderung lebih menekankan pada
perbedaan karakteristik anak dibanding anak normal sebaya.
JENIS ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS
Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) memiliki berbagai jenis, seperti yang dikemukakan
oleh Program Direktorat Pembina SLB, Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah Depdiknas (2006 :10) yaitu :
A. Tunanetra,
B. Tunarungu,
C. Tunagrahita,
C. Tunagrahita Ringan (IQ = 50 – 70)
C1: Tunagrahita Sedang (IQ = 25 – 50)
C2: Tunagrahita Berat (IQ = < 25)
D. Tunadaksa,
D. : Tunadaksa Ringan
D1 : Tunadaksa Sedang
E. Tunalaras,
F. Tunawicara,
G. Tunaganda.
H. HIV AIDS
I. Gifted : Potensi Kecerdasan Istimewa (IQ
>125)
J.
Talented : Potensi Bakat Istimewa (Multiple Intelligences : Language, Logico-
mathematic, Visuo-spatial, Bodily-Kinesthetic, Musical, Interpersonal,
Intrapersonal, Natural, Spiritual)
K.
Kesulitan Belajar (a.l Hyperaktif, ADD/ADHD) Disleksia/Baca, Dysgraphia/Tulis,
Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara, Dyspraxia/Motorik
L. Lambat Belajar (IQ = 70 – 90)
M. Autis
N. Korban Penyalahgunaan Narkoba
O. Indigo
LAYANAN PENDIDIKAN BAGI ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS
Pendidikan
khusus yang didesain khusus untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari siswa berkebutuhan khusus. Pendidikan itu
untuk mengoptimalkan potensi-potensi yang dimiliki. Tujuan pendidikan khusus antara lain:
1. Untuk
mengembangkan kehidupan anak didik & siswa sebagai pribadi
2. Mengembangkan
kehidupan anak didik dan siswa sebagai anggota masyarakat
3. Mempersiapkan
siswa untuk dapat memiliki keterampilan sebagai bekal memasuki dunia kerja
4. Mempersiapkan
anak didik dan siswa untuk megikuti pendidikan lanjutan
Layanan pendidikan khusus antara lain :
a.
System pendidikan segregasi
System pendidikan dimana anak berkelainan terpisah dari system
pendidikan anak normal. Penyelenggaraan system pendidikan segregasi di
laksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaran pendidikan untuk anak
normal. Keuntungan system pendidikan
segregasi :
- Rasa ketenangan pada anak luar biasa
- Komunikasi yang mudah dan lancar
- Metode pembelajaran yang khusus sesuai dengan
kondisi dan kemampuan
anak
- Guru dengan latar belakang pendidikan luar
biasa
- Sarana dan prasarana yang sesuai
Kelemahan system pendidikan segregasi :
- Sosialisasi
terbatas
- Penyelenggaraan
pendidikan yang relative mahal
b. System Pendidikan Integrasi
System pendidikan luar biasa yang bertujuan memberikan
pendidikan yang memungkinkan anak luar biasa memperoleh kesempatan mengikuti
proses pendidikan bersama dengan siswa normal agar dapat mengembangkan diri
secara optimal.
Keuntungan System Integrasi :
- Merasa
di akui haknya dengan anak normal terutama dalam memperoleh pendidikan
- Dapat
mengembangkan bakat ,minat dan kemampuan secara optimal
- Lebih banyak
mengenal kehidupan orang normal
- Mempunyai
kesempatan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi
- Harga diri anak
luar biasa meningkat
c.
Pendidikan Inklusi (Pendidikan Terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus)
Pendidikan inklusi adalah termasuk hal yang baru di Indonesia
umumnya. Ada beberapa pengertian mengenai pendidikan inklusi, di antaranya
adalah pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha
mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang
dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan.
Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status
sosial, kemiskinan dan lain-lain. Dengan
kata lain pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan anak berkebutuhan
khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan
potensi yang dimilikinya. Salah satu kelompok yang paling tereksklusi dalam
memperoleh pendidikan adalah siswa penyandang cacat. Tapi ini bukanlah kelompok yang homogen.
Sekolah dan layanan pendidikan lainnya harus fleksibel dan akomodatif untuk
memenuhi keberagaman kebutuhan siswa. Mereka juga diharapkan dapat mencari
anak-anak yang belum mendapatkan pendidikan.
PENDIDIKAN INKLUSIF MENJAWAB KEUNIKAN ANAK
Gagasan
Sekolah Inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan
siswa reguler dan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dalam satu sekolah. Pendidikan inklusi menyiapkan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK), tidak hanya memenuhi
target pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih
banyak keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak
anak tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak.
Mengingat pendidikan inklusi mulai dengan
merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di mana akan
menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian penyandang cacat anak akan
merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia
dan bertanggung jawab. inklusi terjadi pada semua lingkungan sosial anak, Pada
keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada institusi-institusi
kemasyarakatan lainnya. Sebuah masyarakat yang melaksanakan pendidikan inklusi
berkeyakinan bahwa hidup dan belajar bersama adalah cara hidup (way of life) yang terbaik, yang
menguntungkan semua orang, karena tipe pendidikan ini dapat menerima dan
merespon setiap kebutuhan individual anak.
Landasan
Yuridis Pendidikan Inklusi
1. Konvensi PBB tentang Hak anak tahun 1989.
2. Deklarasi Pendidikan untuk Semua di Thailand
tahun 1990.
3. Kesepakatan Salamanka tentang Pendidikan inklusi
tahun 1994.
4. UU No. 4 tentang Penyandang Cacat tahun 1997.
5. UU No. 23 tentang Perlindungan Hak Anak tahun
2003.
6. PP No. 19 tentang Standar Pendidikan Nasional
tahun 2004.
7. Deklarasi Bandung tentang Menuju Pendidikan
Inklusi tahun 2004.
8. PERMENDIKNAS NO 70 TAHUN 2009 TENTANG INKLUSI
Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Inklusi
Lingkup
Pengembangan Kurikulum Kurikulum pendidikan inklusi menggunakan kurikulum
sekolah reguler (kurikulum nasional) yang dimodofikasi (diimprovisasi) sesuai
dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan
karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya. Modifikasi kurikulum
dilakukan terhadap:
1. alokasi
waktu,
2.
isi/materi kurikulum,
3. proses
belajar-mengajar,
4. sarana
prasarana,
5.
lingkungan belajar, dan
6.
pengelolaan kelas.
Pengembang
Kurikulum Modifikasi/pengembangan
kurikulum pendidikan inklusi dapat dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum yang
terdiri atas guru-guru yang mengajar di kelas inklusi bekerja sama dengan
berbagai pihak yang terkait, terutama guru pembimbing khusus (guru Pendidikan
Luar Biasa) yang sudah berpengalaman mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan ahli
Pendidikan Luar Biasa (Orthopaedagog), yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar
Inklusi (Kepala SD Inklusi) dan sudah dikoordinir oleh Dinas Pendidikan.
Contoh Pelaksanaan
Pengembangan Kurikulum Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan :
1. Modifikasi alokasi waktu
Modifikasi
alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada kecepatan belajar siswa. Misalnya
materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler (Kurikulum
Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam. Untuk Anak Berkebutuhan khusus yang memiliki
inteligensi di atas normal (anak berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4
jam. Untuk anak berkebutuhan khusus yang
memiliki inteligensi relatif normal dapat dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam;
Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak
lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, dan seterusnya.
2. Modifikasi isi/materi
Untuk
anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal, materi dalam
kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan (diperluas dan diperdalam) dan/atau
ditambah materi baru yang tidak ada di dalam kurikulum sekolah reguler, tetapi
materi tersebut dianggap penting untuk anak berbakat. Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki
inteligensi relatif normal materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap
dipertahankan, atau tingkat kesulitannya diturunkan sedikit. Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki
inteligensi di bawah normal (anak lamban belajar/tunagrahita) materi dalam
kurikulum sekolah reguler dapat dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitannya
seperlunya, atau bahkan dihilangkan bagian tertentu.
3. Modifikasi proses belajar-mengajar
Mengembangkan
proses berfikir tingkat tinggi, yang meliputi analisis, sintesis, evaluasi, dan
problem solving, untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di
atas normal. Menggunakan pendekatan student
centerred, yang menenkankan perbedaan individual setiap anak. Lebih terbuka
(divergent); Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di
dalam kelas heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak
kesana-kemari, dari satu kelompok ke kelompok lain. Menerapkan pendekatan
pembelajaran kompetitif seimbang dengan pendekatan pembelajaran kooperatif.
Melalui pendekatan pembelajaran kompetitif anak dirangsang untuk berprestasi
setinggi mungkin dengan cara berkompetisi secara fair. Melalui kompetisi, anak akan berusaha
seoptimal mungkin untuk berprestasi yang terbaik, “aku-lah sang juara”!. Namun, dengan
pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak negatifnya, yakni mungkin
“ego”-nya akan berkembang kurang baik.
Anak dapat menjadi egois. Untuk menghindari hal ini, maka pendekatan
pembelajaran kompetitif ini perlu diimbangi dengan pendekatan pembelajaran
kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap anak
dikembangkan jiwa kerjasama dan kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam
kelompok, secara bersama mengerjakan tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya
adalah kerjasama dalam kelompok, dan kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai.
Dengan cara ini sosialisasi anak dan jiwa kerjasama serta saling tolong menolong
akan berkembang dengan baik. Dengan demikian, jiwa kompetisi dan jiwa kerjasama
anak akan berkembang harmonis. Disesuaikan
dengan berbagai tipe belajar siswA. Tipe
visual, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera penglihatan. Tipe
auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera pendengaran. Tipe
kinestetis, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera
perabaan/gerakan. Guru hendaknya tidak
monoton dalam mengajar sehingga hanya akan menguntungkan anak yang memiliki
tipe belajar tertentu saja.
RUJUKAN :
United
Nations Educational, Scientific and Cultural Organization and Ministry of
Education and Science. (1994, June). Final Report. World Conference on
Special Needs Education: Access and Quality. Salamanca, Spain.
Suparno. 2007. Bahan
Ajar Cetak: Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi: Departemen Pendidikan Nasional.
Direktorat
Pendidikan Luar Biasa Departemen Pendidikan Nasional (2002) Buku pedoman
pelayanan pendidikan bagi anak autistik. Jakarta: Depdiknas